Oleh: Mustafa Akmal Dt Sidi Ali, SH, MH.
Mekkah, AsiaPeristiwa.com - Perjalanan ini menjadi lebih hangat karena kedekatan dan kepercayaan yang terbangun sejak awal.
Sesampainya di Makkah, kami langsung menuju tempat penginapan di Hotel Al Massa Badr. Karena kelelahan setelah perjalanan panjang, kami mengikuti saran dari pembimbing untuk shalat di kamar hotel terlebih dahulu, lalu beristirahat sejenak. Kami bersiap untuk melaksanakan umrah dengan hati yang berdebar haru.
Sekitar pukul 0.7.00 pagi. waktu setempat, kami mulai berjalan kaki dari hotel menuju Masjidil Haram. Jaraknya sekitar 750 meter—langkah yang terasa ringan karena penuh semangat. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan pemandangan yang luar biasa: ratusan burung merpati beterbangan di langit Makkah, seolah menyambut kedatangan kami. Suasana spiritual mulai terasa menyelimuti hati.
Semakin dekat ke masjid, lautan manusia dari berbagai penjuru dunia memenuhi jalan-jalan. Saya melihat wajah-wajah penuh harap dan semangat. Sebagian besar rombongan kami berusia di atas 50 tahun, namun langkah mereka tidak kalah semangatnya.
Bahkan ada seorang anak bernama Muhammad Havif, siswa MTsN Pangian, yang ikut bersama orang tuanya—membuat suasana menjadi semakin haru dan penuh makna.
Kami masuk ke Masjidil Haram melalui Pintu Utama 79, lalu membaca doa masuk masjid. Setelah itu, kami turun ke lantai dasar dan bersiap melaksanakan tawaf. Ketika mata ini pertama kali melihat Ka’bah, hati saya gemetar.
Tak terasa air mata menetes. Inilah rumah Allah, yang selama ini hanya saya lihat lewat gambar dan video. Kini saya berdiri tepat di hadapannya, bersama ribuan jemaah yang terus bertawaf memutar dengan penuh khusyuk.
Selesai tawaf, kami melaksanakan shalat sunnah thawaf, lalu meminum air zam-zam. Inilah momen yang membuat saya sangat terharu. Selama ini saya hanya bisa meminum air zam-zam jika ada saudara pulang dari haji atau umrah. Tapi hari ini, saya bisa meminumnya sepuas-puasnya langsung dari sumbernya, di Masjidil Haram.
Kemudian kami melanjutkan ke sai antara Bukit Shafa dan Marwah. Setelah selesai sai, kami melaksanakan tahallul, yakni mencukur rambut sebagai tanda penyempurnaan ibadah umrah. Kami sepakat agar semua jemaah laki-laki digundul sebagai bentuk kepasrahan total kepada Allah.
Pemotongan rambut ini kami lakukan secara bersama saat umrah kedua yang diniatkan pula untuk orang tua kami yang telah wafat. Saya sendiri mempersembahkan umrah ini untuk almarhum ayah, karena ibu saya sudah pernah menunaikan haji sebelumnya.
Kami juga sangat terbantu oleh bimbingan dari Muhammad Irfan Hakim Zain, pembimbing yang masih muda namun sangat sabar dan perhatian. Beliau adalah mahasiswa S2 di Mesir dan alumni Pondok Pesantren Parambek.
Setiap tahapan ibadah dijelaskan dengan tenang. Bahkan saat thawaf, beliau terus mengingatkan agar jangan sampai terpisah dari rombongan.
Hari itu adalah hari Jumat, dan dengan izin Allah, saya bisa pula melaksanakan shalat Jumat di Masjidil Haram. Ini menjadi berkah luar biasa. Suasana shalat Jumat begitu agung, penuh sesak, dan terasa betul kebesaran Allah menyelimuti setiap sudut masjid.
Selesai ibadah, kami pulang kembali ke hotel. Ribuan jemaah mengalir keluar masjid, namun walau lelah dan padat, hati tetap terasa ringan karena telah menyempurnakan rangkaian umrah hari pertama. Wajah-wajah lelah berganti dengan wajah-wajah penuh syukur.
Hari pertama di Tanah Suci ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan sepanjang hidup saya. Ia adalah hari ketika rindu itu menemukan rumahnya, ketika hati saya benar-benar merasa dekat dengan Allah.(Apc-dtk)
#umroh